Demi Bintang
Malam sudah larut. Jalanan sudah mulai sepi. Aku tercenung memandang mobil-mobil yang lalu lalang sambil menemani si Bungsu belajar. Si Bungsu BINTANG kelas. Nilai-nilainya selalu mendekati sempurna. Dia selalu sekolah dengan semangat, selalu rajin belajar. Punya ibu pemulung, bapak yang tak jelas rimbanya, tak pernah menyurutkan niatnya untuk menjadi yang terbaik. Jadi setiap malam, setelah selesai menemani memulung sampah, kami berdua akan duduk di emperan depan Indomaret, dia belajar dengan asik diterangi lampu dari mini market itu.
"Belum selesai, Nak?", tanyaku sambil menguap. Tanganku tak bisa diam sudah melipat beberapa PERAHU kertas dari brosur Indomaret yang berceceran di emperan.
"Sebentar lagi, Bu."
Kadang si Bungsu akan membacakan bukunya untukku. Menyebutkan banyak istilah-istilah yang ALIEN di telingaku. Aku suka hanya ketika dia membacakan cerita-cerita di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi ibu bodoh yang punya anak pintar itu merepotkan. Di sekolah, waktu ambil rapor, aku selalu merasa diTELANJANGi oleh pertanyaan-pertanyaan wali kelasnya yang tak hampir tak percaya bahwa aku seorang pemulung dan kami tak punya rumah. Alih-alih merasa bangga anakku rangking satu, DARAHku malah mendidih mendengarkan celotehan si wali kelas. Aku bahkan pernah diajak berseRANJANG dengan salah satu guru, supaya nilai si Bungsu bagus, katanya. Ketika aku menolak karena nilai si Bungsu memang selalu bagus-bagus, dia menawarkan sejumlah uang. Cuih! Tak sudi. Aku memang cuma seorang pemulung, tapi aku punya harga diri. Terutama untuk si Bungsu demi masa depan dia yang cerah.
"Sudah Bu."
Tiba-tiba si Bungsu memutus lamunanku. Dia membereskan buku-bukunya dan kita berjalan pulang bersama.
"Belum selesai, Nak?", tanyaku sambil menguap. Tanganku tak bisa diam sudah melipat beberapa PERAHU kertas dari brosur Indomaret yang berceceran di emperan.
"Sebentar lagi, Bu."
Kadang si Bungsu akan membacakan bukunya untukku. Menyebutkan banyak istilah-istilah yang ALIEN di telingaku. Aku suka hanya ketika dia membacakan cerita-cerita di buku pelajaran Bahasa Indonesia. Jadi ibu bodoh yang punya anak pintar itu merepotkan. Di sekolah, waktu ambil rapor, aku selalu merasa diTELANJANGi oleh pertanyaan-pertanyaan wali kelasnya yang tak hampir tak percaya bahwa aku seorang pemulung dan kami tak punya rumah. Alih-alih merasa bangga anakku rangking satu, DARAHku malah mendidih mendengarkan celotehan si wali kelas. Aku bahkan pernah diajak berseRANJANG dengan salah satu guru, supaya nilai si Bungsu bagus, katanya. Ketika aku menolak karena nilai si Bungsu memang selalu bagus-bagus, dia menawarkan sejumlah uang. Cuih! Tak sudi. Aku memang cuma seorang pemulung, tapi aku punya harga diri. Terutama untuk si Bungsu demi masa depan dia yang cerah.
"Sudah Bu."
Tiba-tiba si Bungsu memutus lamunanku. Dia membereskan buku-bukunya dan kita berjalan pulang bersama.
Comments
Post a Comment